Saya mencatat 5 ‘mitos’ terkait meningkatkan skor TOEFL. Pertama, banyak orang mengira, TOEFL bisa ditempuh siapa saja yang menginginkannya. Dengan bahasa Inggrisnya minim pun, asalkan mampu bayar, mereka nekad ikut tes. Padahal, TOEFL layak ditempuh oleh orang (sekurangnya) berkemampuan bahasa Inggris tingkat intermediate (sedang)—setara skor TOEFL 450-an. Maksudnya, beginner (pemula) sebaiknya belajar bahasa Inggris dasar dahulu untuk mengejar berbagai ketertinggalan.
Kedua, kemampuan bahasa Inggris kerap dianggap berbanding lurus dengan skor TOEFL. Padahal, ‘anggapan’ ini tidak selalu benar. Pasalnya, TOEFL bukan hanya tes bahasa Inggris, melainkan juga tes pengetahuan umum yang dimediai oleh bahasa itu. Di dalam soal-soal TOEFL, terlebih Listening dan Reading, tercantum isu-isu sosial, kimia, biologi, kedokteran, politik, pendidikan, dan sebagainya.
Ketiga, bagi sebagian orang, skor TOEFL mereka stabil untuk rentang waktu tertentu. Padahal senyatanya skor TOEFL kita tidak stabil, malah selalu fluktuatif (naik-turun). Suatu saat skor kita 550, saat lain 600, dan saat lain lagi meluncur ke 530.
Keempat, masih diyakini, belajar soal TOEFL selalu mampu mengkatrol skornya secara dramatis. Ternyata, berdasarkan amatan saya, meningkatkan skor 450 ke 500 tampaknya tidak sesulit meningkatkan skor 590 ke 640. Banyak orang mengalami kelelahan untuk mencapai pertambahan skor terakhir ini.
Terakhir, kelima, tak sedikit orang meyakini, bahwa skor TOEFL bisa ditingkatkan dengan latihan-latihan instan, gaya kebut semalam. Hal ini sama sekali tidak benar! Orang yang ingin meningkatkan skor TOEFL secara signifikan dituntut untuk mendisiplinkan diri dalam latihan menjawab soal-soal TOEFL secara intensif.
Sekarang, berapa skor TOEFL yang kita capai hari ini? Marilah menakar diri, apakah skor awal itu pantas sepantas-pantasnya untuk kita tingkatkan dengan percepatan relatif tinggi akibat kulitas motivasi yang kita kembangkan? Kemudian, strategi apakah yang mungkin dapat diterapkan?
Ayo Berbagi ‘Strategi’
TOEFL bukan semata tes bahasa Inggris, tetapi juga tes pengetahuan umum. Namun, dalam hal ini saya tidak hendak menyoal pengetahuan umum kita. Saya justru ingin mengajak berbagi sejumlah butir strategi berikut ini.
1. Mengenal karakteristik soal dengan teliti. Tak kenal, tak sayang, begitu ungkapan yang sering kita dengar. Karena itu, agar ‘disayangi’ soal TOEFL, kita perlu mengakrabi tipe-tipenya dengan baik. Untuk Listening, ada Part A (Short Conversations) dengan soal seputar detail, ekspresi idiomatik, saran, asumsi, prediksi, implikasi, problem, dan topik; Part B (Longer Conversations) dengan soal seputar percakapan informal, akdemik, dan diskusi kelas; dan Part C (Talks/Lectures) dengan soal seputar, misalnya, acara radio, wisata, bincang akademik, atau kuliah. Untuk Structure and Written Expression, soal-soal Part A menuntut kita melengkapi kalimat tidak komplit (incomplete sentences), dan soal Part B lebih banyak mengidentifikasi kata atau frasa yang justru membuat kalimat bersangkutan salah (incorrect sentences). Sementara itu, untuk Reading Comprehension, kita harus akrab dengan tipe-tipe soal seperti previewing, menemukan ide pokok, menggunakan konteks untuk kosa kata, baca-cepat menemukan detail, membuat inferens, mengidentifiksi perkecualian, merujuk kata atau frasa, dan merujuk isi teks.
2. Mengerjakan soal-soal per sesi sesuai waktu yang tersedia. Untuk tes berdurasi pendek (120 menit), ada 50 soal Sesi 1: Listening (40 menit), 40 soal Sesi 2: Structure and Written Expressions (25 menit), dan 50 soal Sesi 3: Reading Comprehension (55 menit). Untuk Sesi 1, memang kita tidak bisa menyalip putaran kaset; namun untuk sesi dua dan tiga kita seyogianya bekerja lebih cepat. Kita harus itung-itungan waktu agar tak terlalu terpaku pada suatu aitem soal yang memusingkan. Jika kita mentok pada sebuah soal, dan ternyata melewati jatah waktunya, kita bisa lewati dulu untuk mengerjakan soal berikutnya. Soal yang masih terlewatkan nanti mungkin bisa dijawab dengan menebak (guessing).
3. ‘Mencuri waktu’ dengan fokus langsung ke soal. Dengan ‘mencuri waktu’ ketika mengikuti tes, saya sarankan untuk tidak membaca petunjuk-petunjuk soal, melainkan fokus langsung ke soal-soal. Begitu kita mengenali karakteristik soal TOEFL, kita tahu, seluruh petunjuk soal paper-based TOEFL sama persis. Dengan langsung melihat soal, kita mengirit waktu beberapa menit; dan perhatian bisa kita curahkan pada soal-soal yang tersedia. Dengan ‘mencuri waktu’, total waktu tes benar-benar bisa kita gunakan secara efektif.
4. Melatih diri sendiri dengan mengerjakan dua-tiga kali, dan menskor dengan kunci yang ada, lalu membandingkan hasilnya. Dalam latihan ini kita kerjakan soal TOEFL, baik per sesi maupun keseluruhan, pada lembar jawaban sesuai dengan waktu yang tersedia. Kita biarkan jawaban kita, dan setelah istirahat seperlunya kita lakukan pengerjaan soal TOEFL untuk kedua kalinya. Demikian juga untuk latihan yang ketiga kalinya. Setelah itu, kita koreksi ketiga-tiganya, dan kita skor dengan teknik penskoran TOEFL, kemudian kita bandingkan hasil skor-skor itu. Mungkin kita akan mendapati bahwa skor latihan kita yang terakhir lebih baik, salah satunya karena kita sudah mengenal atau ‘terbiasa’ dengan profil atau tipe soal yang diberikan.
5. Mengidentifikasi kesulitan. Ketika mengoreksi soal latihan yang telah kita kerjakan (dua-tiga kali tadi), kita bisa mengidentifikasi soal-soal manakah yang terasa sulit bagi kita sehingga jawaban kita selalu salah. Kesulitan-kesulitan itu kita kelompokkan sedemikian rupa untuk memudahkan kita melakukan pendalaman pengetahuan dan ketrampilan. Untuk Listening, misalnya, biasanya kita berkesulitan dalam menghadapi Part B dan Part C, karena kita harus menyimak satu teks dengan beberapa pertanyaan. Untuk Reading Comprehension, kita mungkin berkesulitan menemukan ide pokok atau rujukan isi teks. Itulah kelemahan kita, dan karena itu harus segera dilakukan pembenahan.
6. Memperbanyak latihan terhadap soal-soal (paling) sulit. Setelah kita mengidentifikasi tipe soal yang mencerminkan kelemahan kita, kita perlu memperbanyak latihan terhadapnya. Tentu, ini bukan berarti kita boleh mengabaikan tipe soal yang bagi kita mudah. Justru dengan memperbanyak latihan terhadap soal-soal paling sulit, kita akan merebut nilai skor tambahan. Istilahnya, jangan sampai mburu uceng kelangan dhelek (memburu ikan kecil malah kehilangan ikan besar). Dengan menambah beberapa jawaban benar untuk setiap sesi, peningkatan skor TOEFL kita akan lumayan. Meski demikian, kata ‘menambah’ di sini harus dibarengi dengan kesungguhan dalam latihan.
7. Merujuk buku-buku yang relevan. Idealnya, kita memang perlu bertanya kepada atau berdiskusi dengan orang-orang yang menguasai TOEFL tentang kesulitan-kesulitan dalam menjawab soal TOEFL. Atau kita bisa mempelajari berbagai penjelasan komprehensif di dalam buku latihan (persiapan) TOEFL. Namun, untuk lebih mendalaminya, kita seyogianya telaten merujuk buku-buku yang relevan dengan kesulitan kita. Ini akan menambah keyakinan diri.
8. Menjawab semua soal. Yang tak kalah penting adalah bahwa kita ‘wajib’ menjawab semua soal TOEFL yang berjumlah 140 itu. Jangan biarkan kosong tak terjawab. Jika tidak yakin, tebak sajalah. Mengapa? Sungguh, tidak ada salahnya ‘menebak’ jawaban; toh jika jawaban kita terpaksa salah, tidak akan ada penalty (hukuman) berupa pemotongan nilai/skor. Mohon diingat, hanya sedikit prosen orang peserta TOEFL yang benar-benar lepas dari teknik tebakan ini. Bahkan, tak sedikit orang yang hanya mengandalkan tebakannya (?).
Nah, delapan butir ‘strategi’ di atas tentulah yang bersifat ‘akademis’—yang diarahkan untuk mengasah pengetahuan dan ketrampilan menjawab soal TOEFL. Padahal, selain itu, kita juga perlu mempersiapkan diri dalam hal ‘non-akademis’, terutama mental-psikologis. Kita perlu belajar mengontrol kondisi emosi (kecerdasan emosional), agar tetap tenang (rileks), berkonsentrasi, dan tidak panik tatkala menempuh tes.
Selain itu, kita harus tumbuhkan keyakinan, bahwa kita akan mampu melakukan yang terbaik—dengan meminimkan beban psikologis untuk mencapai skor tertinggi. Termasuk di dalamnya, kita harus membiasakan diri untuk bekerja mandiri, dan menjauhkan diri dari niat menyontek jawaban orang lain karena hal ini justru akan mengganggu konsentrasi kita. Untuk menunjang semua itu, sebelum tes, kita tidak dianjurkan untuk berlapar-lapar atau lembur semalam suntuk karena hal ini justru memacu keloyoan fisik, kelelahan rohani, dan ketegangan mental.
Tutur Akhir
Meningkatkan skor TOEFL memang harus dibayar dengan ongkos yang mahal, yakni menempuh serangkaian latihan mengerjakan soal-soal TOEFL. Strategi yang saya paparkan di atas hanyalah sekelumit tawaran yang barangkali—siapa tahu—bisa diambil hikmahnya. Saya yakin, masih tersedia sekian banyak strategi yang lebih sesuai dengan orang lain, sebagaimana selera orang mengenakan pakaian. Ini semata-mata masalah pilihan. Namun, apapun strateginya, kuncinya satu kata: Latihan!
Hanya dengan latihan yang banyak, skor TOEFL bisa kita tingkatkan atau setidaknya kita pertahankan. Peningkatan skor TOEFL tidaklah mungkin meluncur dari langit atau muncrat mendadak dari tubuh bumi. Ia harus direbut, diperjuangkan, dan dimenangkan. Tanpa segala latihan yang memadai, tak ubahnya kita hanya menggantang asap—atau, secara ekstrem, jika kita alergi menempuh latihan, mungkin kita akan mengandalkan “aji ngawur” [meski ngawur pun pasti dihadiahi skor tertentu]; atau, sewaktu tes berlangsung, kita tulis saja nama dan tanda-tangan, lalu tidur nyaman hingga usainya tes, maka skor kita akan terukir tebal 207. Nah, begitukah?***
mdh2an toefl tidak lagi menjadi momok yang sangat menakutkan. jangan hanya fokus pada masalah, melainkan pada solusi! salam sukses.
BalasHapusPak, strategi di atas apakah masih kompatible dengan IBT?
BalasHapusPada prinsipnya masih, cuma perlu menyesuaikan diri modif). Matur nuwun kritiknya.
BalasHapus