Much. Khoiri
Mengapa
tradisi keilmuwan di rata-rata Perguruan Tinggi (PT) kita belum kukuh dan
mengakar? Memang banyak penyebab bisa muncul.
Tapi
penyebab mendasarnya, adanya kecenderungan bahwa kebanyakan ilmuwan senior
kita, si tulang-punggung tradisi ilmiah di kampus, telah dipredikati “ilmuwan
supersibuk”.
Mereka
adalah ilmuwan yang bukan main sibuk dengan “urusan-urusan lain” yang lazim
mengacu ke kepejabatan di lingkungan kerja (kampus). Karena urusan-urusan itu,
mereka tak sempat lagi menekuni dan mengembangkan disiplin ilmunya sendiri.
Ilmuwan jadi merana
Bila
ada doktor baru misalnya –apalagi lulusan luar negeri– pasti tugas-tugas lain
di luar keilmuwannya sudah siap menodong. Karena dianggap mumpuni, ia akan
dipromosikan menduduki suatu jabatan tertentu. Dalam jabatan itu, ia diharapkan
tampil sebagai pemikir dan konseptor rencana dan langkah strategis, serta motor
penggerak aplikasinya.
Di
lingkungan PT, ia mungkin ditunjuk jadi anggota senat universitas, rektor,
dekan, kepala penelitian, kepala pengabdian masyarakat, atau kepala
perpustakaan.
Belum
lagi kepanitiaan ini-itu yang jumlahnya nyaris tak terhitung. Tapi dalam hal
ini, toh jarang yang berani menolak. Selain hierarki kedinasan, ia pun
tertodong oleh semacam tanggung jawab (atau beban?) moral untuk menunjukkan
pengabdian dan loyalitas.
Maka
berlakulah logika birokrasi di sini. Sang doktor baru itu seakan ditagih
membuktikan signifikansi nyata dari kuliah lanjutnya. Bukan signifikansi
pengembangan akademis, tapi signifikansi praktis dan pragmatis yang langsung
terkait dengan institusinya. Tak peduli ia lulusan doktor atau sponsor luar
negeri atau atas beasiswa pemerintah. Tuntutannya sama.
Akibatnya,
waktu, tenaga, dan pikirannya yang semestinya demi pengembangan spesialisasi
ilmu yang baru saja digenggam, habis tersedot untuk mengurusi tugas-tugas
kepejabatannya.
Spesialisasinya
tersisihkan, kepejabatannya mengedepan. Ilmu yang sebentar hangat itu secara
perlahan akan mendingin sebelum kemudian layu dan mati.
Hakikatnya
seorang doktor menyandang predikat akademis yang tinggi, dengan kewenangan
akademik (academic authority) yang tak diragukan lagi. Suaranya
didengar, pemikirannya diharapkan, saran-sarannya dinantikan. Namun, jika
semangat keilmuwannya layu akibat tertindih atau ditelan beban-beban tugas
nonakademis, apa yang bisa diharapkan darinya?
Memang,
dalam penelitian, ia mungkin sempat jadi pembimbing bagi sekian peneliti muda.
Tapi keterbatasan waktu tenaga menyebabkan per-bimbingan tak bisa intensif dan
optimal. Jika ia jadi ketua peneliti – lagi akibat kesupersibukannya – mungkin
ia tak sempat lagi turun langsung ke lapangan / objek penelitian. Praktik
penelitian dipercayakan kepada anggotanya.
Tak Menunjang
Secara
akumulatif, kondisi demikian tentu tak menunjang tradisi keilmuwan di PT
bersangkutan. Janganjan mengakar, hidup bergairah pun tak mungkin terwujud.
Soalnya, SDM yang semestinya berperan sebagai motor penggeraknya sudah layu
(meski pernah berkembang).
Inilah
kerugian terbesar yang selama ini tak disadari oleh policy maker kita. Policy
maker secara tak langsung telah membunuh kebebasan kreatif dan inovatif
para ilmuwan.
Ilmuwan
super sibuk mungkin tak bisa dikambinghitamkan. Diakui atau tidak, tradisi
keilmuwan di PT tak steril dari lingkaran kebijakan elite kebijakan elite
politik birokratik.
Ilmuwan
kita terjebak halus sebagai pelaksana kebijakan pembangunan makro dan mikro.
Mereka tak bisa berdiri sebagai akademikus independen tapi sebagai “penerjemah
kebijakan” yang dependen. Dan yang tak bisa kompromi mungkin dicap tak loyal
atau mbeling dan, karenanya, minggir
atau dipinggirkan.
Padahal
untuk menyehatkan tradisi ilmiah, ilmuwan harus tampil sebagai akademikus
independen. Mereka mesti jadi acuan kebijakan elite politik/birokratik, juga
tampil sebagai pilar-pilar kontrol kebijakan yang kukuh. Mereka menjadi
supersibuk dalam disiplin ilmunya, selebihnya hanya kegiatan penunjang dan
pelengkap. Itu baru namanya pengabdian yang proporsional.
Dalam
dunia penelitian, gejalanya makin jelas. Umumnya, tema-tema penelitian sudah
seperti paket dari pusat atau lembaga lain yang bersifat “pesanan”. Bahkan,
format proposal, gaya penulisan, dan bentuk laporan harus sesuai patokan baku
yang sudah terpaket. Peneliti harus mau berkompromi dengan model penelitian policy ini jika ingin
mendapat kucuran dana. Semuanya terkesan praktis dan pragmatis, yang bervisi
kekinian, sesaat dan kering.
Adapun
mereka yang mau menggelar penelitian murni (dalam bidang spesialisasi) terpaksa
tarik napas kecewa dalam-dalam akibat seretnya peluang dan fasilitas. Padahal
penelitian murni pun tak kalah pentingnya untuk pengembangan tradisi keilmuwan.
Ini pun suatu bukti ketakmandirian ilmuwan dalam memposisikan dirinya di
lingkungan kampus yang tak steril itu.
Posisi
serba dilematis yang dihadapi para ilmuwan (senior) kita memaksa mereka
menjatuhkan satu pilihan; disiplin ilmu atau “urusan lain”. Jarang ilmuwan yang
menjabat juga bisa mengembangkan ilmunya. Ini pun cuma berlaku bagi mereka yang
sikap ilmiahnya kukuh dan mapan.
Perlu Kebijakan
Melihat
fenomena ini, agaknya perlu suatu kebijakan institusional atau nasional yang
kondusi bagi ilmuwan kita. Tugas-tugas non-akademis seyogyanya tak diberikan
kepada seorang doktor baru lulus kuliah.
Mereka
perlu dipeluangi untuk menunjukkan potensi-dasarnya: meneliti, menulis buku,
seminar, menyebarkan pemikiran lewat media massa atau jurnal, dan sebagainya.
Selain untuk memperkukuh disiplin ilmunya, mereka juga akan mengibarkan nama
lembaga.
Lalu
siapa yang semestinya menjabat dan mengurusi “urusan lain”? jabatan ini lebih
banyak bagi ilmuwan-ilmuwan (doktor) senior yang telah benar-benar established (mapan), yang sikap
ilmiahnya tak mudah goyah meski memegang jabatan, yakni mereka yang tetap
berkarya di tengah kesibukannya menjabat. Adapun doktor “baru” perlu diantrekan
sampai ia memenuhi syarat kelayakan kedinasan dan kesiapan mental/moralnya.
Dengan
demikian, mereka akan bekerja secara manusiawi untuk saling membantu menopang
tumbuhnya akar tradisi keilmuwan yang kukuh. Ada yang berjuang lewat lingkar
birokrasi bernapaskan keilmuwan, disokong dengan karya ilmiah berbobot tinggi.
Kesupersibukkan bukan lagi suatu paksaan yang menggilas sikap ilmiah, melainkan
wahana kondusif untuk membeking perjuangan akademis.
Pada
gilirannya, ilmuwan supersibuk perlu dimasukkan dalam sistem monitoring
akademis secara bersih. Seperti di universitas negara maju, seorang profesor /
doktor harus tetap berkarya meski memegang jabatan.
Jika
dalam waktu tertentu sikap ilmiahnya layu atau mati, hingga tak sempat
berkarya, ia harus siap di-recall
atau diberhentikan sebagai ilmuwan. Kini kita tinggal pilih, punya ilmuwan
supersibuk dalam disiplin ilmunya, supersibuk dalam “urusan-urusan lain” atau
supersibuk dalam kedua-duanya. Dan untuk itu, itikad murni-bening perlu kita
tumbuhkan di dalam kalbu sebelum tradisi keilmuwan di PT kita makin kelabu.
Surabaya Post, Sabtu 6 Desember 1997
You should see how my acquaintance Wesley Virgin's report begins with this shocking and controversial VIDEO.
BalasHapusAs a matter of fact, Wesley was in the army-and soon after leaving-he found hidden, "SELF MIND CONTROL" secrets that the CIA and others used to get anything they want.
THESE are the exact same tactics many famous people (notably those who "became famous out of nowhere") and the greatest business people used to become rich and successful.
You probably know how you use only 10% of your brain.
That's because the majority of your BRAINPOWER is UNTAPPED.
Maybe that thought has even occurred INSIDE your very own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind around seven years back, while riding an unregistered, beat-up bucket of a car with a suspended driver's license and with $3.20 in his bank account.
"I'm so frustrated with going through life check to check! Why can't I turn myself successful?"
You've been a part of those those conversations, isn't it so?
Your very own success story is going to start. You just need to take a leap of faith in YOURSELF.
UNLOCK YOUR SECRET BRAINPOWER
As stated by Stanford Medical, It is really the one and ONLY reason women in this country live 10 years longer and weigh an average of 19 KG lighter than we do.
BalasHapus(And realistically, it is not about genetics or some secret-exercise and EVERYTHING to do with "HOW" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", and not "WHAT"...
CLICK on this link to determine if this little quiz can help you release your true weight loss possibility