It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Jumat, 14 Januari 2011

Pendidikan Karakter dan Model Pembelajarannya


  Pengantar: Pendidikan Berbasis Karakter kini dianggap memiliki potensi besar untuk diimplementasikan di dalam proses pembelajaran. Berikut ini kajian komprehensif Arifin Rahman, Abd. Rahman As’ari, Moh. Najid—para dosen Universitas Negeri Surabaya—tentang konsep Pendidikan Berbasis Karakter dan alternative model pembelajarannya, dengan harapan kita dapat memetik pengetahuan dan menambah wawasan untuk mencerahkan proses pembelajaran (ed. Much. Khoiri).
Pendahuluan
Indonesia dalam menyongsong era global tahun 2020 menghadapi tantangan yang berat, kuncinya banyak terletak pada upaya kita dalam mempersiapkan kualitas SDM yang handal dan dan berbudaya. Rona kehidupan bangsa kita saat ini, seperti tindakan korupsi yang menggurita, perusakan lingkungan hidup, penyimpangan, ketidakjujuran dan perilaku melanggar berbagai aturan yang seolah telah menjadi kebiasaan, tidak disiplin waktu, tidak bertanggungjawab, sikap hidup pragmatis/hedonis, rendahnya etos kerja, lemahnya semangat enterpreneurship, sedikitnya tenaga profesional, dan banyaknya perilaku kekerasan dengan berbagai bentuknya secara langsung atau tidak merupakan potret buram dan produk institusi pendidikan. Hal ini sekaligus juga menjadi indikator bahwa pendidikan kita gagal dalam menjalankan fungsinya.

Pendidikan yang berlangsung selama ini walaupun sudah ada perbaikan kurikulum (KTSP) dengan berbagai pendekatan SAL,IL,DAP,CTL,CL dan Multiple Intelegences, namun dalam praktik lebih banyak mengejar target formalitas daripada pencapaian tujuan yang berdimensi pembentukan watak dan kepribadian (character building). Proses pembelajaran yang berkembang masih lebih banyak berorientasi pada penguasaan pengetahuan (kognitif domain) kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, rasa) penggunaan model pembelajaran pun masih monolog, berpusat pada guru/dosen, teks book, verbalistik, kurang mendorong siswa berpikir kritis & kreatif.

Thomas Lickona guru besar pendidikan dari Cortland University 1– mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini sudah ada pada suatu bangsa, maka bangsa tersebut menuju jurang kehancuran. Tanda–tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkat-nya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri seperti narkoba, alcohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama. Apakah ke-10 tanda itu sudah ada di negeri kita?   

Dengan maraknya berita/tayangan mengenai tindakan kekerasan dan penyimpangan lainnya, dapat menjadi penguatan yang positif (positive reinforcement) bagi orang-orang yang akan melakukan tindakan serupa, karena merasa bahwa orang lain juga melakukan atau ia tidak sendiri dalam melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Lebih jauh lagi, tindakan-tindakan tersebut seolah sudah menjadi suatu hal yang wajar untuk dilakukan, dibenarkan untuk terjadi, dan dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Padahal, sudah jelas bahwa sikap dan tindakan itu merupakan sikap dan tindakan yang mengabaikan, merugikan kepentingan dan menindas/merendahkan martabat manusia.. . 
   
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan meskipun bangsa ini secara teritorial sudah merdeka dan pendidikan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, tetapi tidak begitu signifikan dalam melahirkan perubahan perilaku out-put ke arah yang lebih maju, adil, manusiawi, dan profesional. Situasi ini tentu menimbulkan kegelisahan bahwa ada permasalahan yang cukup memprihatinkan dalam dunia pendidikan di negeri ini.

Penekanan terhadap pendidikan karakter merupakan bagian penting yang sering terlupakan dalam proses pendidikan selama ini. Padahal substansi dari pendidikan itu sendiri adalah proses untuk mengembangkan watak optimisme dalam diri manusia, memberikan kesadaran kritis agar manusia mampu mengembangkan penalaran, memanggil kepada manusia akan kebenaran hakiki, dan memberikan pencerahan iman serta akal budi manusia.2
Dengan pendidikan yang sangat menekankan pada aspek nilai diharapkan akan lahir manusia yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan kemajuan yang merupakan nafas (ruh) dalam kehidupan manusia di bumi ini.

Pendidikan Karakter
Wacana pendidikan karakter nampaknya sebagai “resolusi” dari berbagai krisis moral yang sedang melanda bangsa kita. Apakah pendidikan karakter sama dengan pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan budi pekerti atau pendidikan kewarganegaraan? Bagi Doni Koesoema (2007) 3 adalah usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kebebasan individu itu sendiri. Boleh jadi, pendidikan karakter harus bersifat membebaskan – agar dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Pendidikan karakter punya hubungan erat dengan terbentuknya manusia ideal. Manusia ideal adalah manusia yang baik secara moral, pribadi yang kuat dan tangguh secar fisik, mampu menciptakan dan mengapresiasi seni, bersahaja, adil, cinta pada tanah air, bijaksana, beriman teguh pada Tuhan dan sebagainya.   

Menurut Driyarkara, nilai merupakan hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia.2 Sementara itu, menurut Bertens, nilai adalah suatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Singkatnya, nilai adalah sesuatu yang baik. Dalam pandangan Sinurat, nilai dan perasaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengandaikan. Perasaan adalah aktivitas psikis tempat manusia menghayati nilai. Hal ini bermakna bahwa sesuatu itu bernilai bagi seseorang jika menimbulkan perasaan positif dan sebaliknya. Senada dengan Sinurat, Hans Jonas, filsuf Jerman-Amerika menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang senantiasa kita ‘iya’-kan atau kita setujui.

Pengalaman dan penghayatan nilai itu melibatkan hati, hati nurani serta budi. Hati menangkap nilai dengan merasakannya dan budi menangkap nilai dengan memahami dan menyadarinya.4 Nilai itu selalu dihadapi oleh manusia dalam hidup kesehariannya. Setiap kali mereka hendak melakukan sesuatu pekerjaan, maka harus menentukan pilihan di antara sekian banyak kemungkinan dan harus memilih. Di sinilah nilai akan menjalankan fungsinya. Nilai menjadi ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan atau tujuan tertentu. Nilai tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia memasukkan nilai ke dalamnya sehingga barang atau peristiwa itu mengandung nilai. Oleh karena itu, subjeklah yang tahu dan menghargai nilai itu. Tanpa adanya hubungan subjek atau objek itu maka nilai tidak akan ada. Suatu benda akan ada, sekalipun manusia tidak ada. Akan tetapi, benda itu tidak bernilai, manakala manusia tidak ada. Nilai menjadi tidak bernilai jika manusia tidak ada.5

Menurut Hoffmeister, nilai adalah implikasi hubungan yang diadakan oleh manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada suatu tingkat, di mana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.6

Sumber nilai bukanlah budi (pikiran), tetapi hati (perasaan). Persoalan nilai ini berlawanan dengan persoalan ilmu. Ilmu terlibat dalam fakta, sedangkan nilai terlibat dengan cita dan idea. Salah atau benarnya suatu teori ilmu pengetahuan dapat dipikirkan. Indah-jeleknya suatu benda atau barang, atau baik buruknya suatu peristiwa dapat dirasakan, tetapi perasaan itu sendiri tidak ada ukurannya karena tergantung kepada masing-masing orang yang merasakannya. Jadi, nilai itu sangat subjektif sekali.7

Dalam pandangan Harun Nasution, nilai dimaknai sebagai nilai rohani (etika relegius) yang berupa kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikiran lurus.8

Struktur Nilai
Secara aksiologis, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak dan nilai relatif, nilai intrinsik (dasar), dan nilai instrumental. Nilai mutlak bersifat abadi, tidak mengalami perubahan dan tidak tergantung pada kondisi dan situasi tertentu. Nilai relatif tergantung pada situasi dan kondisi oleh karenanya selalu berubah. Nilai intrinsik ada dengan sendirinya dan tidak menjadi prasarat bagi nilai yang lain, misalnya adalah kebahagiaan, tetapi ukurannya tergantung pada masing-masing orang. Nilai instrumental berupa amal saleh dengan indikator amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan, kemanusiaan, etos kerja, dan disiplin yang dalam praktik kehidupan paling banyak dihadapi oleh manusia.9 Menurut Gordon M. Hart, dalam disposisi jiwa seseorang terdapat tingkatan lapisan yang terkait dengan nilai; pertama, tingkah laku; kedua, sikap; ketiga, nilai; dan keempat, kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Di sini nilai (yang terletak di bawah keyakinan) berada dalam dunia rohaniah/batiniah, spiritual, tidak berwujud, dan tidak empirik, tetapi sangat kuat pengaruh dan peranannya dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang.10 Dari sini dapat diketahui bahwa nilai menjadi standar tingkah laku yang bersifat tetap dan abadi.

Dalam pandangan Atmadi, jenis nilai itu beragam, jika dilihat dari sifat maupun manfaatnya. Jika dilihat dari sisi manfaat nilai dapat dibedakan menjadi universal dan partikular, intrinsik dan ekstrinsik. Dilihat dari manfaatnya ada nilai final dan instrumental. Uang bernilai instrumental dan Allah bernilai final.11
Max Scheller, sebagaimana dikutip Purwo Hadiwardoyo membagi nilai dalam empat tingkatan sebagai berikut.
1.       Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai keenakan yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2.       Nilai-nilai hidup: dalam tingkat ini terdapat nilai yang penting bagi orang yang hidup, semisal kesehatan dan kesejahteraan umum.
3.       Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungannya, semisal keindahan, kebenaran, dan lain-lain.
4.       Nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari yang suci. Nilai-nilai semacam ini terdiri dari nilai pribadi, terutama Allah sebagai Pribadi Tertinggi.12


Problematika Pembelajaran Nilai
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan internalisasi nilai-nilai kepada peserta didik, antara lain:
1.      Kultur masyarakat Indonesia dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, ditambah dengan multietnis dan budaya yang merupakan kondisi rentan terhadap berbagai pengaruh budaya luar yang masuk lewat kontak langsung maupun tayangan televisi. Pengaruh ini sangat dahsyat dan kuat dalam membentuk opini, pola pikir, dan pola hidup masyarakat yang cenderung konsumtif, pragmatis, dan hedonis. Hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat nilai-nilai ideal.
2.      Sistem pemerintahan (politik) yang dianut oleh negara berkembang pada umumnya adalah pemerintahan otoriter yang menempatkan pemerintah sangat leluasa dalam menentukan berbagai kebijakan. Dalam situasi seperti ini lembaga pendidikan menjadi sangat subordinatif dan tidak dapat mengelola kegiatan pembelajaran secara independen dan ideal. Lembaga akan lebih banyak melaksanakan program pendidikan versi pemerintah yang sarat dengan kepentingan politis-ekonomi dan mempertahankan status quo.
3.      Lembaga pendidikan itu sendiri tidak memiliki cukup konsep dan instrumen tentang pembelajaran nilai yang benar-benar dapat diandalkan untuk membina peserta didik. Lembaga pendidikan lebih bersifat administratif -–formalistik yang secara rutin menyampaikan materi pelajaran, evaluasi dan kemudian meluluskan peserta didik agar nantinya dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4.      Kondisi peserta didik (in-put) yang secara kuantitatif relatif banyak tetapi berkualitas rendah. Proses transformasi nilai akan sangat sulit jika dilaksanakan dalam suatu kelas yang jumlahnya banyak (gemuk), apalagi berkualitas rendah sebab pembelajaran nilai sangat membutuhkan keaktifan peserta dan monitoring yang intensif dari guru.
5.      Karakter nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat abstrak sehingga menyulitkan pendidik dalam melakukan transformasi maupun evaluasi. Hal demikian tidak terjadi dalam ilmu eksakta. Instrumen yang valid untuk evaluasi nilai sangat sulit, kalaupun bisa memerlukan waktu dan dana yang cukup banyak. Ukuran keberhasilan yang sulit dipastikan akan menjadi kendala tersendiri dalam melakukan tindak lanjut.
6.      Kebiasaan hati yang penuh dengan kebencian dan kedengkian serta tertutup. Dalam kondisi ini pendidikan hanya mampu menyampaikan informasi rasional, tetapi gagal dalam menanamkan nilai-nilai.13
7.      Kultur dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung suka meredam perasaan, emosi, tidak spontan, dan tidak transparan.
8.      Kebiasaan dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan semangat monolog/pidato dan instruktif serta kurang menggunakan model sharing (berbagi) dan dialog.14
9.       

Pendekatan dan Strategi Alternatif Pembelajaran Nilai
Nilai-nilai itu bukanlah ciptaan manusia, melainkan datang dari Sang Pencipta sebagai Nilai Tertinggi (Summum Bonum) dan menjadi sumber segala nilai. Manusia memiliki tugas untuk memahami, menyadari, merasakan, menemukan, dan mewujudkan dalam kenyataan. Proses pemahaman dan penemuan nilai ini tidak dapat dilakukan hanya dengan budi-pikiran saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman nyata. Ketika seseorang ingin menghayati nilai ‘cinta kasih’, tidak cukup hanya dengan berpikir, memahami, dan menyetujui di kepala saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman nyata ‘mencintai’ dan ‘dicintai’.15

Superka (1976, et. al.) telah melakukan kajian dan merumuskan tipologi dari berbagai pendekatan pendidikan nilai dalam bidang psikologi, sosiologi, filosofi yang berkembang dan digunakan dalam dunia pendidikan, Ia menyimpulkan ada lima pendekatan pendidikan nilai yang masing-masing ada plus minusnya, yakni;
1)      pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
2)      pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach),
3)      pendekatan analisis nilai (values analysis approach),
4)      pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
5)      pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)  

1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak.
Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2) Pendekatan perkembangan kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.
Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
(1)   Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
(2)   Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada criteria kelompoknya.
(3)   Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci.
Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
Tahapan "preconventional":
Tingkat 1: moralitas heteronomus; Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.
Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik; Seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
Tahapan "conventional":
Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu . Kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.
Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati; Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Tahapan "posconventional":
Tingkat 5: tingkat transisi; Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum; Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal. Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut:
(a)   Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya,
(b)  Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya,
(c)   Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.
Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.
Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya seperti dikemukakan oleh Hersh, et. al. (1980), pendekatan ini menampilkan bias budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal.
Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya.
Teori Kohlberg juga dikritik mengandung bias sex, karena dilemma yang dikemukakannya dan orientasi penilaian pada keadilan dan hak lebih tepat bagi kaum pria. Berdasarkan kepada hasil uji empiris, kaum wanita cenderung mendapat skor lebih rendah dari kaum pria (Power, 1994). Dalam pelaksanaan program-programnya, teori ini juga memberi penekanan pada proses dan struktur pertimbangan moral, mengabaikan nilai dan isi pertimbangnnya. Berhubungan dengan hal ini, menurut Ryan dan Lickona (1987), pendidikan moral dengan penekanan kepada proses semata dan mengabaikan isi, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Dari sisi lain, pengakuan Kohlberg bahwa teorinya berdasarkan kepada prinsip-prinsip moral yang bersifat universal dibantah juga oleh Liebert (1992). Menurut Liebert, berbagai kajian dalam bidang antropologi tidak mendukung pandangan tentang adanya prinsip-prinsip moral yang universal seperti yang dikemukakan Kohlberg. Realita yang ditemukan adalah berbagai norma, standard, dan nilai-nilai moral yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat pendukungnya.
Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi tertentu, namun seperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona (1987), teori ini juga telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan moral.
1)      Pendekatan analisis nilai (values analysis approach),
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metode-metode pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kelompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional (Superka, et. al. 1976). Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989). Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut: Langkah analisis nilai: Tugas penyelesaian masalah:
1.      Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait
2.      Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait
3.      Mengumpulkan fakta yang berhubungan.
4.      Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan
5.      Menguji kebenaran fakta yang berkaitan.
6.      Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
7.      Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
8.      Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
9.      Merumuskan keputusan moral sementara.
10.  Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.
11.  Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
12.  Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf, dan pakar psikologi, termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Mieux, dan James Chadwick (Elias, 1989; Hersh, 1980). Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metode pengajaran yang digunakan, seperti yang dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976), pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.
2)      Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) member penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Superka, et. al. 1976).
Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metode: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain (Raths, et. Al., 1978). Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon (Shaver, 1976). Mereka telah menulis sebuah buku, yang pertama-tama membahas tentang pendekatan ini secara terperici, dengan judul Values and teaching: working with values in the classroom. Edisi pertama buku tersebut diterbitkan pada tahun 1966 oleh penerbit Charles E. Merrill.
Istilah values clarification pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada tahun 1950an, ketika beliau mengajar di New York University. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Elias (1989), bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai “role model dan pendorong”. Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut Pertama, memilih
1.      dengan bebas
2.      dari berbagai alternatif
3.      setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya,
Kedua, menghargai:
4.      merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya,
5.      mau mengakui pilihannya itu di depan umum,
Ketiga, bertindak:
6.      berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya,
7.      diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths et. al., 1978).
Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai tersebut, Raths, et. al. (1978) telah merumuskan juga empat pedoman sebagai kunci penting sebagai berikut:
(1)     Tumpuan perhatian diberikan pada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk mengarahkan tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek kehidupan mereka sendiri, supaya mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai;
(2)     Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita memberi perhatian pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan apa adanya;
(3)     Stimulus untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu lebih banyak berbuat sebagai refleksi nilai, dari pada sekedar menerima;
(4)     Pengembangan kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pendekatan ini bukan hanya mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi juga mendapat tuntunan untuk berpikir dan berbuat lebih lanjut.
Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985). Metode pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan, seperti telah dijelaskan di atas Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga mengandung kelemahan menampilkan bias budaya barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. Seperti dikemukakan oleh Banks (1985), pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis.
5)  Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) 
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metode-metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metode-metode lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktik keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama (Superka, et. al., 1976).
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pembelajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat memberi pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et. al., 1980). Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain. Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut beliau, sebagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Pendidikan nilai merupakan upaya pembentukan sikap dan tingkah laku seseorang, hal ini seperti dikemukakan oleh Smith dan Spranger, bahwa nilai-nilai mewarnai sikap dan tindakan individu karena ia harus senantiasa untuk dimiliki.17 Senada dengan Smith dan Spranger, menurut Max Scheler, manusia perlu terus-menerus berusaha mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi tingkatannya. Berkait dengan tingkatan nilai itu, Hadiwardoyo menyatakan bahwa perlu ada pedoman untuk menentukan tinggi rendahnya nilai; semakin tahan lama, semakin tinggi, semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin membahagiakan, dan semakin tidak tergantung pada kenyataan tertentu.18 Proses internalisasi nilai membutuhkan kemahiran dalam menangkap nilai lewat pengalaman nyata, di antaranya perlu keterbukaan hati-budi, keheningan, ketenangan, dan disposisi batin yang mendukung; terbuka, percaya, jujur, rendah hati, bertanggung jawab, berniat baik, setia, dan taat.19
Pendidikan nilai hendaknya bukan hanya sekadar tambahan (pelengkap), melainkan merupakan sesuatu yang hakiki dalam seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai menjadi kian penting ketika arus materialisme dan konsumerisme secara global terus mengikis nilai-nilai luhur dari kehidupan manusia, tidak hanya yang tinggal di kota-kota besar, bahkan sudah menyentuh desa-desa yang terpelosok sekalipun.
Terdapat beberapa pendekatan dan strategi alternatif (model) yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik, antara lain sebagai berikut.

Pertama, menurut Khairon, penanaman nilai-nilai dapat dilakukan dengan;
1.       model pewarisan; adalah dengan menggunakan cara indoktrinasi mekanistik, pemaksaan, latihan, dan pengulangan;
2.       model pengembangan kesadaran nilai, artinya bahwa nilai itu akan ditemukan oleh anak ketika mereka mengalaminya sendiri;
3.       model pengembangan nilai etika swasta, anak didik tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap perkembangan dalam suatu seri tahap-tahap yang secara kualitatif  berbeda satu sama lain.20

Kedua, menurut A.M. Saifudin, internalisasi nilai paling strategis dilakukan lewat universitas dan civitas akademika. Dalam pandangannya, kejatuhan sains di dunia modern karena terlalu mengagungkan potensi nalar tanpa memberikan sedikit pun untuk hal–hal yang bersifat metanalar. Sementara realitas kehidupan yang ada membuktikan bahwa justru realitas kehidupan yang digeluti sekarang ini banyak yang tidak rasional, artinya banyak ditentukan oleh asumsi manusia dalam bentuk keyakinan. Oleh karena itu, ia mengusulkan adanya fakultas baru yang peduli terhadap nilai, yaitu sebagai berikut.
1.  Fakultas Zikir
     Dalam epistemologi al-Qur’an, fakultas zikir bergerak dalam dunia intuitif yang dikonotasikan dengan akidah atau iman. Daya pancar fakultas zikir ini mampu menangkap sinyal-sinyal rohani lewat alam semesta sebagai instrumen prima untuk realitas mutlak sebagai ego terakhir. Fakultas zikir berfungsi meloloskan manusia dari kepungan-kepungan materialisme yang sangat dahsyat.
2.  Fakultas Pikir
     Pikir dan zikir harus padu dalam memotret setiap sosok kehidupan dari alpha sampai omega. Menurut Imam al-Ghazali, kerancauan berpikir dari ahli pikir terjadi akibat kenyataan dan anganangan dicampuradukan dengan akal. Sebenarnya akal dapat mencapai hakikat, tetapi harus dituntun oleh wahyu untuk membaca ilmu Allah yang terbentang luas di alam semesta agar manusia dapat memahami makna ‘super energi’ di balik energi yang digunakan untuk memutar roda kehidupan makhluk.
3.  Fakultas Amal
     Amal merupakan refleksi dan perbuatan kreatif dari zikir dan pikir yang jatuh pada titik pusat kesadaran emosional di saat pikir dan zikir telah sampai di hati yang menimbulkan prosesal ‘amalu bi an niyat. 21

Ketiga, menurut A. Atmadi dan Setyaningsih, pendidikan nilai akan lebih efektif jika dikembangkan lewat jalur non-formal karena disposisi peserta didik terbangun dengan baik. Disposisi ini sangat ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang menentukan disposisi antara lain; niat, motivasi, dan arah konsentrasi perhatian murid. Sementara itu, faktor eksternalnya adalah sikap badan atau posisi duduk, tata ruang, dan dinamika hubungan antarsubjek yang terlibat. Suasana kelas yang formal, klasikal dan tempat duduk yang terpaku pada kursi meja yang diatur berlajur-lajur paralel dan arah pandang (komunikasi) yang searah ke depan saja, kiranya hanya cocok untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kognitif lewat ceramah-ceramah. Setting suasana kelas tersebut kurang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. Pendidikan nilai membutuhkan setting eksternal yang mendukung terbentuknya disposisi internal yang diharapkan sehingga hati dengan bebas membuka dan nilai-nilai mudah masuk ke dalamnya. Di antara setting eksternal yang mendukung efektivitas pendidikan nilai adalah sebagai berikut.
1.      Sikap posisi duduk yang rileks dan bebas bergerak, misalnya duduk lesehan atau duduk dikursi dengan posisi duduk melingkar.
2.      Suasana santai, informal, dan luwes.
3.      Acara-acara dinamis dan interaktif.
4.      Arah konsentrasi perhatian terfokus, tetapi tidak kaku dan tegang.
5.      Setting tempat luas, terbuka, alami, dan segar.
6.      Ada refreshment (minum, snack, dan makanan).
Hal di atas akan berpengaruh terhadap disposisi internal. Akan tetapi, disposisi internal sendiri harus ditumbuhkan untuk;
1.      niat yang bulat untuk mengikuti acara-acara yang diselenggarakan;
2.      arah-konsentrasi perhatian yang terpusat;
3.      minat yang muncul secara bebas dari dalam (merasa butuh); dan
4.      keterbukaan untuk berkembang. 22.
Proses conditioning dalam pendidikan nilai dapat dilakukan dengan;
1.      dengan model pemecahan masalah (problem solving); mengajak murid untuk berdiskusi memecahkan suatu masalah konkret;
2.      dengan model berpikir reflektif (reflective thinking); mengajak murid secara pribadi atau berkelompok untuk membuat catatan refleksi atau perenungan (tanggapan) atas suatu tulisan, peristiwa, kasus, gambar, foto, dsb;
3.      dengan model membangun sikap bertanggung jawab (responsibility-building); murid
diserahi tugas atau pekerjaan yang konkret dan diminta untuk membuat laporan sejujurjujurnya;
4.  dengan piknik (picnic); mengadakan kunjungan ke suatu tempat diluar kelas untuk refershing dan mengenal suasana lingkungan;
5.   dengan camping study; murid diajak untuk melakukan camping;
6. dengan pesta; muri diundang ke rumah guru untuk berpesta, meskipun sederhana dan kecil kecilan.23.

Keempat, menurut Kamrani pembelajaran nilai dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut.
1.      Strategi Tradisional; dengan menjelaskan aturannya, pesannya kemudian dijelaskan konsekuensi bagi yang melaksanakan maupun yang meninggalkannya.
2.      Strategi Klarifikasi Nilai; dengan memilih, menghargai, dan melaksanakan nilai dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Strategi Teladan; dengan memberi contoh kepada peserta didik tentang nilai-nilai yang dianut dan menjelaskannya.
4.      Strategi Transinternal; dengan cara menyimak cerita yang mengandung nilai, menanggapi suatu perilaku dalam cerita tersebut, mendudukan nilai yang tertinggi dari nilai yang ada dalam cerita dan internalisasi (memberi makna) nilai.24

Kelima, menurut Dougles Superka, dalam mengajarkan nilai terdapat beberapa strategi yang dipilih berdasarkan materi bahan ajar dan tujuan yang dikenal dengan strategi Value Clarivication Technique (VCT), antara lain sebagai berikut.
1.      Pendekatan evokasi/ekspresi spontan (evolution approach) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengemukakan tanggapan, perasaan, penilaian, dan pandangannya terhadap suatu hal yang disampaikan oleh pendidik, khususnya nilai –nilai tertentu. Pandangan yang disampaikan tersebut boleh bersifat emosional, positif, bahkan negatif sekalipun.
2.      Pendekatan sugesti terarah (inculcation approach), di mana peserta didik secara halus digiring untuk mengarah pada suatu kesimpulan dan menerima nilai tertentu.
3.      Pendekatan kesadaran (awareness), dengan mengadakan suatu kegiatan di mana peserta didik diberi kesempatan untuk mengamati dan dituntun untuk mengklarifikasi dirinya atau orang lain.
4.      Mencari kejelasan moral (moral reasoning), di mana pendidik melontarkan suatu dilemma kepada peserta didik, mereka diajak terlibat dalam dilema itu dan kemudian diminta untuk melakukan klarifikasi dirinya, serta meningkatkan nilai tersebut melalui dialog.
5.      Pendekatan analisis nilai (approach of value analitis) dengan mengajak peserta didik melakukan analisis nilai yang ada dalam suatu media, mulai dari analisis seadanya seperti reportase dan kemudian melakukan kajian mendalam.
6.      Pengungkapan nilai (value clarification), dengan cara membina kesadaran emosional nilai peserta didik melalui cara klarifiaksi, kajian kritis rasional, dan menguji kebenaran, kebaikan, keadilan, kelayakan, serta ketepatan.
7.      Pendekatan kesepakatan (commitment approach), yakni dengan minta peserta ketika awal masuk sudah harus menyepakati sikap dan pola pikir yang berdasarkan nilai-nilai tertentu. Pendekatan ini diterapkan dalam pengajaran nilai untuk melatih peserta didik disiplin dalam pola berpikir dan berbuat, serta membina integritas sosial peserta didik.
8.      Mengintegrasikan diri (approach union), yakni peserta didik diintegrasikan dalam kehidupan riil atau simulasi yang dirancang oleh pendidik. Peserta didik disuruh mengalami atau merasakan secara langsung hal ihwal yang diharapkan.25

Dalam penerapan berbagai strategi di atas, sebenarnya dibutuhkan adanya prasyarat yang mendukung, antara lain sebagai berikut.
1.      Keterampilan mengidentifikasi nilai, sikap atau moral, mengklarifikasi diri, dan mengambil keputusan atau kesimpulan.
2.      Adanya keterbukaan (diri dan pikiran) atau kesediaan (keramahan dan objektivikasi) para peserta didik dan pendidik.
3.      Hati, pikiran, emosi, kemauan, keseluruhan diri, dan minat peserta didik harus terpanggil dan
terlibat dalam apa yang sedang berlangsung di kelas; bagaikan nonton wayang atau film yang begitu bergairah hanyut dalam lakon.
4.      Pendidik harus memiliki, menyadari, dan selalu patuh akan target-target nilai dari pokok pelajarannya.26

Penutup
Dari beberapa uraian di atas, kiranya dapat diambil suatu simpulan antara lain sebagai berikut.
1.      Bahwa nilai merupakan suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang sifatnya empiris dan berfungsi sebagai standar atau ukuran bagi tingkah laku manusia yang terkait dengan baik dan buruk, indah tidak indah, layak tidak layak, adil tidak adil, dan lain sebagainya. Nilai bersifat tetap dan mutlak.
2.      Struktur nilai dapat dibedakan menjadi mutlak dan relatif, juga nilai dasar dan instrumental.
3.      Problema yang sangat krusial dalam pembelajaran nilai adalah rendahnya komitmen dan ketulusan.
4.      Internalisasi nilai dapat dilakukan dengan berbagai alternatif sesuai dengan sudut pandang terhadap nilai maupun karakter nilai itu sendiri.


Endnote
1.   Thomas Lickona, The Content of Our Charcter; Ten Essential Virtues,  2003
2.   Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi, dan Tantangan Pendidikan Moralitas (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), hal. 179.
3.   Doni Koesoema, Strategi Pendidikan Anak Bangsa, 2007, hal.194
4.   A. Atmadi dan Setyaningsih (Ed.), Transformasi Pendidikan Memasuki Millenium Ketiga, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2000, hal. 72.
5.   Ibid., hal., 36. Bandingkan dengan Teori Nilai dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Tales – James (Bandung: Rosdakarya, 1992), hal. 35-36.
6.   Khaeron Rosyadi, Pendidikan Profetik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 114.
7.   Ibid., hal. 115. Nilai memang suatu yang bersifat kualitas, abstrak, dan independen. Hal ini dapat dibaca dalam Cut Ananta Wijaya (Penj.), Pengantar Filsafat Nilai (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 114-124.
8.   Ibid., hal. 114. Tentang persoalan nilai dan ilmu ini baca pula Nilai dan Ilmu dalam Rizal Mustansyir dan Musnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001,) hal. 168-170.
9.   Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1996), hal. 57. Nilai  itu terkait sekali dengan persoalan akhlak, dan nilai ini bersifat luhur (agung), lihat Sudarsono, Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 206.
10.Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 121-122.
11.Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah: Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer (Yogyakarta: UII Pres, 2003), hal. 70.
12 Atmadi, Transformasi, hal. 72. Tentang hirarki nilai ini, ulasan lebih mendalam dapat dibaca dalam Cut Ananta Wijaya (Penj.), Pengantar Filsafat Nilai (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 129-141.
13 Ibid., hal. 73. Bandingkan “Sistim Nilai” dalam Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Prktik (Bndung: Rosdakarya, 1997), hal.159-160.
14 Agus Rukiyanto, “Ajaran Nilai Max Scheller”, dalam Tim Redaksi Tri Dyarkara: Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusian (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 184.
15 Suseno FM dan Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal. 87. Nilai dalam masyarakat Jawa dapat dilihat dalam Muh. Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002), hal. 57.
16 Khaeron, Pendidikan, hal. 122.
17 Atmadi, Op., Cit., hal. 74. Nilai lebih banyak dibentuk dengan proses pengalaman langsung, bahkan menurut Ahmad Tafsir dengan proses pembiasaan.
18 Atmadi, Transformasi, hal. 73.
19 Ibid., hal. 78.
20 Khaeron, Pendidikan, hal. 128. Baca pula Komisi Pendidikan MNPK, “Sekolah dan Pendidikan Nilai”, dalam EMK Kaswardi (Peny.), Pendidikan Nilai Memasuki 2000 (Jakarta: Gramedia, 1993).
21 Khaeron, Pendidikan, hal. 128-130. Ini sebenarnya konsep baku dalam pendidikan Islam yang dalam prosesnya sangat menekankan kesimbangan antara peran ilmu (otak), iman (ati), dan amal (otot).
22 Atmadi, Transformasi, hal. 39. Yang dimaksud dengan disposisi internal adalah hal yang terkait dengan sitausi psikologis peserta didik untuk menghadapi pembelajaran nilai.
23 Atmadi, Transformasi, hal. 40.
24 Kamrani, Antologi, hal. 78-83.
25 Atmadi, Transformasi, hal. 79.
26 Ibid., hal. 79-80.

2 komentar:

  1. Mdh2an memberikan manfaat bagi pengunjung situs ini.

    BalasHapus
  2. Ulasannya lengkap sekali dan juga lengkap dengan tahap perkembangan moral anak.
    Terima kasih Pak

    BalasHapus