It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Jumat, 04 Februari 2011

DR. KING dan IMPIAN


Much. Khoiri
Pada 15 Januari 2011 petang saya menghadiri makan malam dan kumpul-bareng para guru yang dihelat oleh Konsulat Jendral Amerika Surabaya dan RELO USA Jakarta, bertempat di ballroom ShangriLa Hotel Surabaya. Hadirin terdiri atas guru dan praktisi pendidikan, baik dari Amerika maupun (terutama) dari Surabaya dan sekitarnya—ada juga, misalnya, dari Bangkalan Madura.

Petang itu tentu merupakan petang yang cukup istimewa: Menghormati warisan Dr Martin Luther King Jr.—sebagaimana tertulis indah pada undangannya “Dr King and the legacy of public speaking and education in social movements.” Meski saya sendiri belum sehat benar setelah sakit dua-minggu, saya merasakan keistimewaan hadir pada acara itu. Keistimewaan lain, bertemunya guru Amerika dan Indonesia untuk memetik hikmah perjuangan Dr King untuk perubahan sosial yang bermakna. Termasuk dalam “guru” Indonesia di sini adalah dosen negeri-swasta, guru sekolah menengah, praktisi pendidikan (alumni sandwich program), dan pimpinan lembaga bahasa.

Bukan itu saja. Tempat duduk diatur di meja makan bundar sedemikian rupa sehingga para guru Amerika dan Indonesia bisa bertegur sapa dan berbincang tentang berbagai hal, baik interpersonal maupun transaksional, baik basa-basi maupun sungguh-sungguh. Tentu saja bagi guru-guru Indonesia, terutama yang jarang atau belum pernah mengobrol dengan (asisten) guru Amerika, itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Memang ada yang sudah terbiasa terlibat dalam momen semacam itu, namun tak sedikit yang masih canggung.

Acara menjadi menarik ketika konsul jenderal AS, Kristen Bauer, tampil memberikan sambutannya, dengan gayanya yang lembut dan penuh semangat—kelihatan bahwa beliau itu cerdas intelektual dan emosional. Konjen mengupas bagaimana Dr King menyumbangkan warisan dalam dunia pidato (public speaking) dan pendidikan untuk suatu perubahan sosial. Dr King telah mewariskan kata-kata yang luar biasa dan inspiratif bagi bangsa Amerika—terutama lewat naskah pidatonya yang dahsyat , yakni “I Have a Dream”, dan bagian dari impian itu mencakup pendidikan.

Pidato “I Have a Dream” sendiri disampaikan Dr King pada 1963, di depan 250 ribu massa yang berbondong ke Washington dalam upaya mendukung Civil Rights Act. Itulah pidato yang memberikan suara besar untuk menuntut pergerakan hak sipil—hak yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang terlahir hitam dan cokelat. Itu merupakan salah satu momen langka di dalam sejarah Amerika yang mampu mengubah sebuah bangsa—merintis jalan bagi transformasi hukum dan hidup bangsa Amerika.

Itulah mengapa Konjen juga menegaskan, perjumpaan guru-guru itu dimaksudkan untuk berbagi dan mendiskusikan warisan Dr King dan pentingnya cita-cita kesetaraan, akses yang sama dan setara terhadap pendidikan, kebebasan bicara, dan kebebasan berserikat sebagaimana senantiasa Dr King promosikan dan teladankan selama hidupnya.

Disemangati untuk menghormati Dr King, kini Konjen dan RELO mengirimkan 14 dosen bahasa Inggris mereka dan 44 asisten untuk mendukung pendidikan di Surabaya sebagai bagian dari kemitraan komprehensif antara Amerika dan Indonesia. Para fellows dan assistants itu akan memberikan workshop pelatihan-guru tentang materi-materi kreatif dalam pengajaran bahasa Inggris melalui lagu, file gambar, dan surat kabar di tujuh universitas dan 14 sekolah menengah di Surabaya.

Jika dicermati, dalam dunia pendidikan pun, Dr King memiliki tempat tersendiri di hati bangsa Amerika. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena Dr King memiliki impian yang besar—sebuah impian yang menggetarkan hati bangsa Amerika, dan bahkan mencerahkan dan menggugah kesadaran. Salah satu jalur penting untuk semua itu adalah jalur pendidikan. Dan sejarah membuktikan, impian Dr King menginspirasi demikian banyak bangsa Amerika, termasuk etnis Afrika-Amerika untuk bangkit memperjuangkan hidupnya.

Tampaknya inilah pelajaran yang perlu kita ambil hikmahnya. Dunia pendidikan memang harus memiliki impian besar. Kalau Amerika memiliki Dr King, Indonesia sebenarnya juga memiliki Ki Hajar Dewantoro—yang semboyan besarnya “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani” dalam dunia pendidikan telah mengilhami demikian banyak penerusnya, dan telah mendarahdaging dalam dunia pendidikan kita. Tak dapat dipungkiri, Ki Hajar Dewantoro, sebagaimana Dr King, adalah sosok pahlawan yang akan selalu dikenang sepanjang jaman.

Apakah kita juga memiliki impian besar dalam dunia pendidikan? Ataukah kita hanya memiliki impian yang kecil dan kerdil saja? Tidak! Kita wajib memiliki impian besar, dan diwujudkan dengan langkah-langkah yang besar dan nyata. Kita harus mengejar ketertinggalan beberapa langkah apa yang telah ditempuh negara-negara tetangga—yakni negara-negara yang pada tahun 1960-an telah menstudikan pemudanya ke UGM atau UI dan sekarang telah menjadi tempat studinya para pemuda Indonesia. Kesalahan langkah di masa lampau harus dibayar sekarang ini dengan impian besar dan langkah besar.

Impian itu, antara lain, mengarus ke terbentuknya manusia yang seutuhnya: yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli—serta sederet karakteristik lain turunannya. Dan hal ini tentu sudah dipikirkan oleh para otoritas negeri ini yang berkecimpung dalam pengambilan kebijakan. Kita tinggal menunggu implementasinya, sambil mengawalnya dengan kebeningan nurani serta kecerdasan pikiran dan emosi.

Mengapa kita harus optimistis mengenai impian dunia pendidikan kita? Pendidikan selalu menjalani proses panjang dan berkelanjutan, terlebih untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Ini masalah character building, dan memang harus berproses cukup panjang. Dan itu harus dimulai oleh masing-masing warga dunia pendidikan: pejabat, guru, dan siswa. Tanpa tindakan nyata di masa kini tak akan membuahkan apapun di masa depan. Tindakan kita merupakan investasi kita untuk masa depan, sebagaimana kita menginvestasikan harta, energi, pikiran, dan waktu—yang pada suatu ketika akan kita panen hasilnya.

Ketika Dr King menyampaikan pidatonya pada 1963, dia memang “membakar” semangat massa untuk aksi besar—akan tetapi, dia mungkin malah tak pernah membayangkan bahwa pidatonya telah mengilhami demikian banyak manusia Amerika untuk menjolok dan memperjuangkan cita-cita kesetaraan, akses yang sama dan setara terhadap pendidikan, kebebasan bicara, dan kebebasan berserikat. Meski demikian, dia pastilah memiliki impian bahwa bangsa Amerika harus mampu mengalami perubahan yanglebih baik kelak di masa depan.

Dr King itu beretnis Afrika-Amerika, sebutan yang halus untuk keturunan kulit Hitam atau Negro. Akan tetapi, karena isi pidatonya, beserta sepak terjang perjuangannya, yang melintas batas etnis, dampaknya begitu luar biasa. Tidak hanya bangsa kulit hitam saja yang merasakan dampaknya, melainkan juga etnis kulit putih, hispanik, cokelat, dan sebagainya. Isu kesetaraan, termasuk di dunia pendidikan, telah menghapus perbedaan dan diskriminasi etnis.

Itu terbukti nyata. Setelah puluhan tahun sepeninggal Dr King, kata-katanya bertebaran di berbagai forum pidato, menyelinap di banyak buku, diabadikan di buku-buku harian, dan bersemayam di hati sekian banyak bangsa Amerika. Sangat boleh jadi Presiden Barrack Obama terinspirasi juga oleh Dr King ketika beliau berpidato pada Konvensi Nasional Demokrat 2004, “Tidak ada Amerika hitam, Amerika putih, Amerika Latino, atau Amerika Asia; yang ada Amerika Serikat... Kita adalah satu bangsa…”

Juga setelah puluhan tahun sepeninggal Dr King, jasanya dikenang dengan berbagai kegiatan pendidikan yang mencerahkan, tidak hanya di dalam negeri, melainkan di luar negeri AS. Di luar negeri AS, sebagaimana di Surabaya, kedutaan atau konsulat AS menggelar acara mengenang Dr King, seperti tugas wajib yang tak boleh dilewatkan. Itulah mengapa Konjen dan RELO mengirimkan 14 dosen bahasa Inggris dan 44 asisten untuk memberikan workshop tentang materi-materi kreatif dalam pengajaran bahasa Inggris melalui lagu, file gambar, dan surat kabar di tujuh universitas dan 14 sekolah menengah di Surabaya.

Efek karambol itulah yang sangat luar biasa. Impian Dr King menggelinding terus lewat jiwa-jiwa pendidikan yang dinamis dan suka tantangan untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Ibaratnya, impian Dr King diemban secara estafet oleh generasi AS, dan bahkan virus perubahannya hendak ditularkan ke guru-guru bahasa Inggris di Surabaya dan sekitarnya. Itu memberikan makna yang mendalam dan luar biasa.

Dan jika sesuatu “kesan dan pesan” telah dititipkan kepada guru, kemanakah mengarusnya kalau bukan kepada siswa? Entah seberapa persen, entah kapan nanti, guru mungkin akan mengutip ungkapan-ungkapan Dr King, memujinya, mengambil biografinya untuk contoh, atau mengkritiknya tapi dengan santun (proporsional), dan sebagainya. Guru menjadi medium perantara untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam pidato-pidatonya kepada siswa. Cepat atau lambat proses itu akan berjalan; itu hanya masalah waktu saja.

Jika demikian, kalau mau mujarab—dan ces pleng—dalam menularkan virus perubahan, contohlah Konjen AS itu. Undanglah kaum intelektual (termasuk guru—apalagi suka menulis) dalam acara yang di dalamnya Anda dapat menitipkan pesan atau nilai-nilai. Mengundang 10 intelektual (apalagi suka menulis) akan lebih efektif daripada mengundang 100 tamu biasa. Apa yang Anda sampaikan akan “hidup” dan “hidup kembali” di hati dan pikiran 10 intelektual itu—mungkin malah terlahirkan dalam bentuk wacana-wacana baru yang mencerahkan.

Begitulah, undangan petang itu juga merupakan bagian dari inseminasi gagasan dan impian “I Have a Dream” kepada guru-guru untuk selanjutnya suatu saat—sangat boleh jadi) ditularkan pula kepada siswa-siswa Indonesia. Pendidikan akan menjadi medium yang efektif untuk hal semacam itu—entah seberapa persen pasti akan sampai kepada sasaran. Jika itu benar, akan muncul banyak orang yang ketularan virus impian pendidikan dan perubahan a-la Dr King, sebagaimana orang juga akan ketularan semboyan Ki Hajar Dewantoro.

Andaikata orang tidak mengambil gagasan-gagasan Dr King sepenuhnya, atau hanya sebagian, setidaknya di benak mereka akan terngiang-ngiang dengan judul pidatonya itu “I Have a Dream”.  Kebetulan judul itu singkat, padat, berisi—dan mudah diingat. Di balik padatnya judul itu terkandung makna dan implikasi yang luas dan dalam. Itu akan tumbuh dan berkembang di dalam pikiran dan hati mereka, bahwa “saya harus punya impian.” Contoh kecil saja, dalam acara tersebut, ada mahasiswa STKIP Bangkalan, Abi Bakrin, menyampaikan (dengan sangat percaya diri) sebuah gagasannya “Indonesia, I Have a Dream.”

Karena guru adalah sosok yang berpengaruh, maka mengundang 10 guru (apalagi suka menulis) identik dengan menyemaikan nilai-nilai “I Have a Dream” kepada sepuluh atau seratus atau seribu pikiran dan hati siswa, dan teman-temannya, dan orang-orang terdekatnya. Itu kalau hanya 10 guru. Nah, kalau ada 100 guru, berapakah jiwa siswa yang menyimpan “I Have a Dream” di dalam dirinya? Pasti itu akan memberikan efek karambol berkelanjutan dan, pastilah, sangat dahsyat.

Dengan demikian, marilah melakukan refleksi. Dapatkah kita melakukan hal yang sama? Atau setidaknya kita dapat mengambil hikmahnya? Sebagai guru, seberapa baikkah kita menanamkan nilai-nilai “saya harus punya impian” dengan keteladanan yang kita tunjukkan untuk siswa-siswa kita? Jika kita mampu mensosialisasikan virus ini, akan tumbuh dan berkembang sosok-sosok yang penuh semangat, optimistis, dan suka tantangan dalam mengarungi kehidupan.

Bagaimanapun, hidup ini tindakan menerjemahkan kata-kata, dan akan lebih bermakna apabila kita memiliki impian yang besar, kuat, jelas, dan terukur. Dr King, Ki Hajar Dewantoro, dan kita sebagai insan pendidikan pastilah sangat mendambakan bahwa generasi mendatang adalah generasi yang berpikir dan bertindak berdasarkan impian besar yang telah ditetapkan.

Marilah simak Langston Hughes, lewat salah satu puisinya “Dreams.”. Menurutnya, tanpa impian, hidup adalah burung yang berpatah sayap yang tak kuasa terbang. Bahkan, tanpa impian, hidup adalah ladang tandus yang membeku bersama salju.  Dengan kata lain, tanpa impian, manusia seakan sekarat dan/atau mati. Ah, alangkah memprihatinkan orang yang tidak memiliki impian—yang hanya mengalir tanpa arah hidup jelas.

Bagaimana tanggapan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar