Much. Khoiri
Siapakah di antara kita yang mau sakit? Barangkali tak ada satu pun! Makan-minum tak enak, tidur pun tak nyenyak—berbagai kenikmatan sirna, yang tersisa hanya “kesengsaraan”. Meski manusia lebih lama sehatnya daripada sakitnya, andaikata dikaruniai sakit barang seminggu saja, dia sudah sangat menderita. Namun, belum lama ini—ya kira-kira baru kali ini—aku menemukan mutiara hikmah dari sakitku beberapa waktu silam.
Aku mulai jatuh sakit mulai 23 Desember 2010, sehari setelah turun dari Batu, menghadiri acara Immersion Program mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS Unesa. Semula tidak terasa apa-apa, terlena oleh keriangan dan kebahagiaan bersama mahasiswa. Rinduku pada dunia mahasiswa telah menggunung—seingatku, aku pernah menjadi pembina mahasiswa jurusan selama 9 tahun. Acara seni pun, kendati sampai tengah malam, melarutkan sejumlah dosen, termasuk kolegaku bu Pratiwi, dan mencairkan kami dengan mahasiswa.
Dalam perjalanan pulang, turun dari Batu, pun belum terasa sakit itu. Aku tetap menancap gas Capella tuaku dengan meyakinkan. Badanku masih terasa fresh, mataku terasa tajam, tanganku memegang setir dengan erat. Semua baik-baik saja sampai kemudian aku tiba di rumah, mandi, dan shalat magrib, dan sebagainya. Barulah ketika menjelang subuh, sakit itu memembuatku bertekuk lutut: diare.
Kelihatannya sederhana, cuma diare. Namun, nanti dulu. Seumur-umur baru kali ini aku sakit diare sampai 4-5 hari. Ini benar-benar rekor. Obat dokter, sampai obat tradisional, sudah masuk ke tubuh; namun tak berbekas, bablas seperti angin. Diare itu begitu bandel dan tangguh. Maka, yang kulakukan hanya berdoa, tawakkal, dan membentaknya sebagai setan. Alhamdulillah, subuh 28 Desember, sakitku mulai sembuh. “Dalam dua hari pemulihan akan beres,”pikirku.
Ternyata pemulihan pun tidak bisa begitu cepat, sampai menjelang tahun baru. Praktis selama seminggu lebih aku ditaklukkan oleh diare. Terdengar lucu, memang. Namun, buru-buru aku sadari bahwa diare itu sebenarnya cuma masalah bentuk saja; substansinya adalah sakit itu sendiri. Sakit selalu digdaya. Mengalami sakit selalu tidak enak. Dan sakit selalu membuat yang lucu pun tak membuat kita ketawa.
Jadi tahun baru 2011 itu aku tidak pergi ke mana pun. Alangkah lemahnya aku di hadapan sebuah sakit yang sederhana. Ataukan aku hanya terlalu manja?
Aku kira aku segera dientas Tuhan dari sakit pertama itu—sampai aku menulis status di fesbuk bahwa aku begitu bersyukur menjalani sakit karena diberi kesempatan untuk mengurangi dosa-dosa yang telah berceceran dan menggunung selama ini. Sebagaimana orang lain, kalau sedang sakit, aku menjadi rajin membaca istighfar, doa, dan shalawat—atau setidaknya imun dari pikiran-pikiran kotor (piktor). Itulah maksudku sakit bisa mengurangi sedikit dosa-dosa kita.
Wah, ternyata tidak. Dua-tiga hari setelah tahun baru ganjaran sakit tiba kembali, bukan diare melainkan jenis yang lain. Aku benar-benar terpingit di dalam rumah selama hampir dua minggu pula. Meski demikian, demi nasib nilai mahasiswa, dalam sakit ini pun aku memaksa diri untuk mengoreksi skripsi, makalah, dan tugas mahasiswa. Kalau sampai koreksian dan nilai tidak jadi, berarti aku dhalim kepada teman-teman mahasiswa. Alhamdulillah, tugas oke, koreksi rampung, nilai pun beres.
Kini aku sudah kembali sehat wal-afiat, dan tinggal berbagi limpahan hikmah dari sakitku. Pertama, mungkin hanya dengan sakit, aku bisa istirahat cukup di rumah bersama keluarga. Biasanya aku kerja berangkat pagi pulang petang, tak jarang harus ke luar kota, dan berpindah dari tim satu ke tim lain. Istilah teman-teman, “Pasukan Lali Omah” (PLO). Malamnya, selain cek email, persiapan agenda dan tugas, aku harus cek blog atau website dan mengisinya dengan tulisan. Nah, dengan sakit, aku benar-benar istirahat memadai. Sekarang aku sudah sehat kembali; porsi istirahat sudah kutambah “sedikit”—lumayan.
Kedua, aku menyadari, sebagaimana kata dokter, bahwa sakitku dipicu oleh kecapekan yang amat sangat, plus mengonsumsi sayur-mayur selama berbulan-bulan (sejak bulan ramadhan tahun lalu) yang ternyata justru pemicu sakit itu. Capekku rupanya menumpuk, tidak hanya fisik, melainkan juga mental—ditambah kurang tidur selama November-Desember 2010 lalu. Dan ternyata, urap bayam atau cap cay, menu favoritku untuk makan malam, telah ikut meng-KO aku.
Hikmahnya, mulai sekarang, aku wajib mengatur irama: kalau fisiknya kerja keras, mental atau pikiran tidak boleh diforsir. Aku tidak ingin mengulang keteledoranku tahun 2005—juga hampir “game point” karena jatuh sakit serius akibat forsiran fisik-mental ini; saat itu aku masih menjabat kepala Language Center Unesa, sekaligus harus menulis tesis S2, menggolkan prodi D3 English Business, dan masih banyak lagi.
Ketiga, karena sakit, aku kian sadar kini, bahwa aku wajib tunduk pada siklus hidup. Kini aku tidak lagi seperti saat berusia belasan, duapuluhan, atau tiga puluhan—yang hanya tidur empat jam, yang cukup maniak kerja, yang bisa meng-handle multitugas (sering) dalam satu momentum. Kini stamina sudah menurun, keseimbangan telah goyah, dan imunitas pun tak sekuat dulu. Orang bilang, manusia seusiaku ini lebih dekat ke bau tanah daripada bau kencur. Siklus hidup itu mengajarkan bahwa semakin bertambah usia, semakin kualitas (lah)—bukan kuantitas—yang perlu diutamakan, termasuk masalah kerja dan makan. Jika sebaliknya, pastilah akan oleng.
Terkait dengan itu, aku semakin sadar, bahwa manusia itu hakikatnya makhluk yang dhaif, lemah, dan tidak pandai bersyukur. Bukannya tidak baik untuk kerja keras. Akan tetapi, justru tidak baik ketika kita bekerja keras tanpa berpikir cerdas dan berlaku dhalim terhadap (kesehatan) tubuh. Aku benar-benar sadar, selama ini, telah dhalim terhadap tubuhku sendiri: telah membebaninya dengan tugas-tugas yang overdosis. Semula kukira aku cukup kuat untuk semua itu. Namun, ternyata tidak! Hanya dengan sentilan sakit tiga minggu saja, aku seperti pendekar yang dicabut ilmu kanuragannya: Kolaps alias lemas dan lemah. Maka, jangan heran, di ujung sakitku, tak henti-hentinya aku mengumpat diri sendiri sebagai manusia yang goblok dalam mensyukuri kesehatan selama ini.
Berikutnya, soal makan. Sejak sakit, dokter telah memberikan pantangan makanan, jenis dan teknik memasaknya. Seorang teman guru, bu Etik Sediarti, dari SMPN 26 Surabaya, menyebutnya dengan akronim “b-e-n-j-o-l”, yakni bayem, emping, nangka, jerohan, otak, dan lemak serta teman-temannya. Di luar “komunitas” ini boleh dilahap asalkan teknik memasaknya dengan kukus atau rebus. Dengan demikian, makanan favoritku seperti gurami goreng, udang goreng, tempe goring, krupuk rambak, dan yang goreng-goreng harus minggat dari menuku. Tak jarang aku membawa bekal makanan ke kampus: kentang, pisang, dan telor rebus.
Ternyata, hikmahnya, badanku malah terasa semakin enak. Karena kini tidak terbiasa makan yang sedap-sedap, nafsu makanku tidak meledak-ledak seperti dulu. Jika dulu jam 12 siang aku pasti tergoda untuk makan siang, sekarang aku makan kalau terasa lapar—dan menyudahinya sebelum kenyang [ah, seperti kutipan sebuah hadits ya?]. Aku jadi teringat kata-kata Imam Al-Ghazali, nafsu itu diberi seberapa pun akan diterima saja, sedikit atau banyak tetap oke; maka, kupikir, tubuh hanya perlu makanan dalam ukuran kualitas (bukan kuantitas)—dan makanan “sampah” dan sejenisnya yang tak diperlukan tubuh (seperti merokok misalnya) harus minggir. So, keputusanku untuk berhenti merokok sejak idul fitri lalu sudahlah tepat dan top markotop.
Lebih jauh lagi, dengan sakit itu, aku belajar kembali ilmu adil dan ikhlas. Seperti kusinggung di depan, aku harus tetap membaca dan mengoreksi tugas mahasiswa. Mengapa? Saya hanya ingin adil kepada mereka. Mereka telah menunaikan kewajiban sebagai mahasiswa, dan mereka wajib menerima haknya. Hak itu harus kuberikan. Adapun sakit adalah urusanku, bukan urusan mereka. Maka, meski dengan tubuh lemah, aku tetap membereskan tugas dan nilai mereka. Untuk membimbing skripsi, kusambung lewat fesbuk saja, hingga ada mahasiswa yang tak mengerti bahwa dia sedang bimbingan skripsi dengan bapaknya yang lagi sakit.
Selain ilmu adil, aku juga belajar ilmu ikhlas—dan ini yang teramat sulit dan berat. Dalam kondisi sakit, untuk selalu mengucapkan hamdalah setiap waktu, baik lisan maupun hati, sulitnya bukan main. Yang paling sering aku menjadi hipokrit atau munafik. Dalam kondisi sakit, lidah pahit, dan serba tak berdaya, lisanku bisa mudah mengucap hamdalah, tetapi tidak selalu begitu dengan hatiku; tak jarang hatiku mengeluh, sambat-sambat, atau mengaduh. Bahkan, melisankan hamdalah pun, nadanya terdengar seperti orang mengaduh—sungguh ironis dan menggelikan. Untuk ikhlas kaffah (utuh) secara lahir-bathin, kok susahnya bukan kepalang.
Karena itu, dalam hal ilmu ikhlas ini, aku garisbawahi: syukur dan ikhlas saat sakit kukira bolehlah sampai batas lisan dulu. Ini masih tahap (terus) latihan. Ikhlas itu urusan hati. Kalau sudah lupa, ikhlas pasti akan tumbuh sendiri. Analoginya, aku lebih suka memilih orang yang menyumbang masjid satu juta rupiah meski kurang ikhlas, daripada orang kaya yang menyumbang masjid sepuluh ribu rupiah dengan ikhlas. Loh, kok begitu? Aku hanya berdoa agar ketidakikhlasan orang itu segera dicabut oleh Tuhan—dan biasanya itu bisa terjadi ketika dia sudah lupa. Begitulah, ikhlas dan syukur perlu dilatih sedikit demi sedikit.
Dari semua hikmah itu, aku mencatat tebal: Kesehatan itu jauh lebih penting dari segala predikasi hidup manusia. Dengan kondisi sehat, kita bisa melakukan apapun sebatas kewajiban dan hak manusia. Sebaliknya, jika kondisi tidak sehat, apalah artinya hidup kita ini. Dengan demikian, kesehatan bisa seharga hidup itu sendiri. Mengambil hikmah kesehatan di dalam kondisi sakit, agaknya, identik dengan belajar memahami (dengan menjalani) hidup itu sendiri—padahal hidup adalah kata kerja, atau, setidaknya, penerjemahan kata-kata kerja.
Nah, pernahkah Anda sakit? Adakah Anda memiliki hikmah sakit? Kini saatnya untuk berbagi, bukan?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar